Hak Atas Kota: Upaya Melampaui Pembangunan Kota Atas Nama Kapital

Selama tahun 2015, publik banyak menyaksikan upaya ‘bersih-bersih’ kota oleh Gubernur Jakarta. Upaya bersih-bersih itu dilakukan dengan menggusur pemukinan yang dianggap ‘liar’, ‘tak sesuai tata ruang’, dan ‘menyalahi aturan’. Menariknya, target utama ‘bersih-bersih’ kota itu, umumnya adalah penduduk miskin yang termarjinalkan oleh proses pembangunan kota di Jakarta. Data Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBHJ) menyebutkan bahwa selama tahun 2015, setidaknya telah terjadi 113 penggusuran, dimana 95 kasus dilakukan secara paksa di seluruh wilayah Jakarta. Penggusuran itu telah menyingkirkan 8.145 KK dan 6.283 unit usaha warga dengan rata-rata telah menghuni pemukimannya selama puluhan tahun.[1] Dari seluruh penggusuran itu, 72 kasus penggusuran tidak mendapatkan tawaran solusi sama sekali, 32 kasus mendapatkan relokasi dan 5 mendapat ganti rugi. Meskipun demikian, bentuk rehabilitasi tersebut tidak selamanya layak atau sesuai dengan nilai kerugian yang benar-benar dialami oleh warga terdampak.[2] Eksposisi data tersebut menunjukan bahwa realitas kota semakin tidak ramah pada kelompok marjinal dan miskin.

Dengan semakin menguatnya proyek-proyek penggusuran, yang sebenarnya telah terjadi secara menyejarah dalam kehidupan perkotaan,[3] menjadi tantangan baru bagi generasi saat ini untuk membuka jalan pikiran alternatif bagaimana seharusnya kehidupan kota ditata dan dikelola. Sekaligus, memberikan kedaulatan warga kota untuk menentukan sendiri kehidupannya. Untuk itu, mengulas kembali pemikiran David Harvey mengenai hak atas kota menjadi penting saat ini. Upaya meretas pemikiran alternatif tersebut dilakukan dengan tujuan agar pembangunan kota dapat memiliki esensi untuk memperbaiki kualitas kehidupan warganya.

Akumulasi Kapital dan Perkembangan Kota

Menurut David Harvey, sejak dari dulu kota muncul melalui konsentrasi sosial dan geografis dari suatu surplus produksi.[4] Di bawah kapitalisme, perkembangan kota tergantung pada mobilisasi surplus produksi tersebut. Itu berawal dari hakikat kapitalisme yang bersandar pada kebutuhan abadi untuk mengakumulasikan profit secara terus menerus tanpa terinterupsi. Dalam proses sirkulasi kapital tersebut, kota menjadi situs yang sangat penting. Hasil kelindan antara keduanya dapat dipahami dari kurva pertumbuhan logistik (uang, output dan populasi) yang melekat pada sejarah akumulasi kapital, yang selalu sejajar dengan pertumbuhan urbanisasi di bawah kapitalisme. Maka, kemudian timbul koneksi intim antara perkembangan kapitalisme dan kota.

Upaya menelusuri relasi antara kapitalisme dan perkembangan kota dapat dilihat dari argumen dasar kapitalisme itu sendiri. Hal tersebut berawal dari kebutuhan abadi dari kapitalisme untuk mengakumulasi profit tanpa batas ini, membuat mereka harus selalu kreatif mengatasi hambatan yang merintanginya. Karena itu pula, mereka selalu mencari (atau menciptakan) medan atau wilayah yang menguntungkan bagi akumulasi kapital dan penyerapannya. Hal itu menjadi penting karena menjadi syarat agar akumulasi kapital dapat terus berjalan, dan sistem kapitalisme bisa terus hidup. Usaha untuk meraih itu dilakukan dengan menciptakan pekerja yang terdisiplin, atau menciptakan tenaga kerja baru, misal dengan proletarisasi, ekspor modal, dan migrasi tenaga kerja bila itu langka dan mahal. Selain itu, kapitalis juga harus menemukan cara produksi baru yang efektif untuk mendapatkan sumber daya alam yang diperlukan sebagai bahan mentah dalam proses produksi. Oleh karena itu dalam perkembangannya, kapitalis selalu didorong membuka medan untuk ekstraksi bahan baku baru, yang sering kita sebut dengan imperialisme dan neo-kolonialisme.

Selain kondisi di atas, hukum persaingan juga memaksa kapitalis harus memacu inovasi diantara mereka. Inovasi tersebut akan mendefinisikan keinginan dan kebutuhan pasar, mengurangi waktu perputaran modal, dan mengurangi kesenjangan jarak yang membatasi rentang geografis di mana kapitalis dapat mencari pasokan tenaga kerja, materi baku, dan sebagainya. Jika tidak ada daya beli yang cukup di pasar, maka pasar baru harus ditemukan dengan memperluas perdagangan luar negeri, promosi produk baru dan gaya hidup, menciptakan instrumen kredit baru, dan utang negara dan pengeluaran pribadi. Jika akhirnya, tingkat keuntungan terlalu rendah, maka regulasi pemerintah dalam bentuk fasilitas monopoli (merger dan akuisisi) dan ekspor modal akan memberikan jalan keluar. Dorongan untuk mencari tempat yang menguntungkan bagi akumulasi kapital ini yang membuat kapitalis selalu menciptakan pasar yang kondusif di seluruh dunia. Inti dari argumen di atas bahwa proses sirkulasi kapital harus tetap berjalan agar proses penciptaan dan realisasi nilai-lebih dalam bentuk profit tidak terganggu.

Namun, salah satu masalah yang mengiringi kapitalisme, dan menjadi sumber krisis yang inheren adalah adanya akumulasi berlebih (over accumulation), yaitu suatu keadaan dimana terjadi surplus kapital (berupa berlimpahnya komoditi di pasar yang tak bisa dijual tanpa merugi, kapasitas produksi yang menganggur dan atau surplus uang yang tak memiliki saluran investasi produktif dan menguntungkan) dan surplus tenaga kerja (meningkatnya pengangguran).[5] Akumulasi berlebih ini menyebabkan tingkat keuntungan yang diraih oleh kapitalis menjadi berkurang dan atau berhenti, sehingga membuat mereka keluar dari pasar. Akibat selanjutnya, perputaran roda ekonomi menjadi mandeg dan kapitalisme terseret dalam krisis. Dalam posisi demikian, Harvey menyatakan bahwa urbanisasi atau perkembangan kota telah memainkan peran yang sangat aktif untuk menyerap surplus produksi kapitalis tersebut. Di sinilah peran penting dari proses urbanisasi dalam kapitalisme.

Menanggapi hal demikian, cara untuk mengatasinya terletak pada kapital. Jika hal tersebut ingin dihindari, maka harus ditemukan cara-cara untuk menyerap surplus kapital. Pada posisi demikian, salah satu cara yang bisa dilakukan oleh kapitalis adalah ekspansi secara geografis dan reorganisasi spasial untuk dapat berinvestasi kembali sehingga akumulasi kapital dapat berlanjut. Ini yang dinamakan dengan konsep spatial fix atau lebih tepatnya spatio-temporal fix.[6]  Konsep itu bersandar pada sebuah proses pergeseran temporal dimana surplus kapital dialihkan ke proyek-proyek jangka panjang agar nilai mereka dapat kembali bersirkulasi lewat aktivitas produktif. Ekspansi geografis dan spasial tersebut akan menghasilkan investasi dalam infrastruktur-infrastruktur fisik dan sosial yang bertahan lama, karena itu penciptaan dan rekonfigurasi spasial dapat menunda krisis kapitalisme.

Inti dari skema tersebut adalah mengalihkan arus kapital dari sirkulasi primer (produksi-konsumsi langsung) ke sirkulasi sekunder (berupa pembentukan kapital dan konsumsi tetap) dan sirkulasi tersier (belanja-belanja sosial). Dari situlah surplus kapital terserap dan disirkulasikan secara temporal. Pembangunan kota, dalam hal ini, adalah bentuk ekspansi geografis dan reorganisasi spasial dengan investasi pada proyek infrastuktur dan sosial sebagai jalan untuk mengatasi problem akumulasi berlebih.

Dengan skema spatio-temporal fix itu, surplus kapital dan tenaga kerja secara potensial dapat diserap melalui: (a) pengalihan temporal dalam bentuk investasi dalam proyek-proyek kapital jangka panjang yang akan menunda masuknya kembali nilai-nilai kapital dalam sirkulasi kapital; (b) pengalihan spasial melalui pembukaan pasar baru, kapasitas produksi yang baru, peluang-peluang sosial, dan tenaga kerja baru, dan (c) gabungan antara keduanya.[7] Namun demikian, serangkaian spatio temporal fix ini bersifat temporer, dan dalam jangka menengah akan gagal untuk mengatasi problem akumulasi berlebih. Hal itu karena akumulasi berlebih pada sirkuit sekunder (pembentukan kapital dan konsumsi tetap) dan tersier (belanja sosial, riset dan pengembangan) akan menyebabkan terjadinya akumulasi berlebih baru bila tidak produktif di masa depan. Akumulasi berlebih ini yang akan menjadi penyebab krisis baru dalam jangka menengah dan panjang.

Skema di atas dapat dibaca dari pembangunan kota Paris di bawah arsitek kota Georges-Eugène Haussmann untuk mengambil alih pekerjaan umum kota Paris pada tahun 1853. Secara jelas dapat dipahami bahwa misinya adalah untuk membantu memecahkan surplus kapital dan masalah pengangguran dengan model pembangunan infrastruktur dalam skala besar di kota. Itu dilakukan dengan membangun kembali kota Paris untuk menyerap sejumlah besar tenaga kerja dan kapital dalam standar waktu tertentu, dan ditambah dengan menekan aspirasi pekerja Paris. Hal tersebut menjadi kendaraan utamanya bagi stabilisasi sosial saat itu. Untuk mendukung proyek tersebut, Haussmann memerlukan lembaga keuangan baru dan instrumen utang, Crédit Mobilier dan Crédit Immobilier, yang dibangun pada jalur Saint-Simonian. Dengan itu, ia membantu menyelesaikan masalah pembuangan surplus kapital dengan menyiapkan sistem proto-Keynesian yang didanai utang perbaikan infrastruktur perkotaan.

Berikutnya, pembangunan kota tidak hanya melibatkan transformasi infrastruktur perkotaan, tetapi juga rekonstruksi cara hidup masyarakat perkotaan. Paris dijadikan ‘kota cahaya’ pusat pariwisata dan hiburan, kafe, department store, industri fashion dan pameran besar. Semua itu mengubah cara hidup masyarakat perkotaan sehingga bisa menyerap surplus produksi melalui konsumerisme. Tapi sistem keuangan yang berlebih dan struktur kredit yang semakin spekulatif, akhirnya jatuh pada tahun 1868. Periode berikutnya muncul Komune Paris, yang menjadi salah satu episode revolusioner terbesar dalam sejarah perkotaan kapitalis.

Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat pasca Perang Dunia kedua. Sebelumnya, perang dapat menyerap surplus kapital dan tenaga kerja akibat depresi besar tahun 1930-an. Kemudian, pasca perang muncul masalah bagaimana surplus kapital itu harus diserap. Untuk mengatasinya, dimulailah pembangunan kota New York dengan sistem jalan raya dan transformasi infrastruktur, suburbanisasi, dan rekayasa ulang secara total tidak hanya di kotanya saja, tapi juga daerah di sekitarnya. Usaha tersebut ternyata juga membantu menyelesaikan masalah penyerapan surplus kapital. Sama dengan pembangunan kota Paris, pembangunan kota New York ini juga mensyaratkan transformasi gaya hidup secara radikal, dimana pola hidup konsumtif semakin dominan. Bersamaan dengannya terjadi juga perubahan dalam lanskap politik, seperti subsidi kepemilikan rumah untuk kelas menengah, mengubah fokus masyarakat atas nilai properti dan identitas individu, dan mengubah suara  kritis menuju republikanisme konservatif. Proyek ini berhasil menyerap surplus dan menciptakan stabilitas sosial. Namun demikian, sebagai obat yang sifatnya sementara, pembangunan kota ini tetap tak bisa menyelesaikan krisis dalam kapitalisme. Bahkan, perkembangan kota juga ikut menyumbang timbulnya krisis. Di AS hal itu ditandai dengan timbul krisis pada tahun 1960-an yang dikenal dengan ‘krisis perkotaan’.

right to the city 2sumber gambar

Krisis Kapitalisme dan Perkotaan

Pembangunan kota selalu beriringan dengan komodifikasi ruang dalam wilayah perkotaan tersebut. Komodifikasi adalah upaya membuat ruang perkotaan, termasuk tanah, menjadi komoditas yang memiliki nilai tukar sehingga dengan itu dapat dipertukarkan di pasar. Dengan kian hegemoniknya ideologi neoliberalime, negara semakin diekslusi dari regulasi atas tanah dan pasar properti, sehingga itu mengurangi intervensinya atas perencanaan kota. Di sisi lain, pembangunan kota ‘diserahkan’ pada pengembang dan spekulan finansial yang diyakini akan membawa kota semakin tumbuh berkembang sebagaimana layaknya kota-kota megapolitan dunia lainnya.

Dalam perkembangan berikutnya, tanah di perkotaan bukanlah komoditas biasa lagi, ia kemudian berubah menjadi bentuk kapital fiktif (fictious capital) yang berasal dari ekspektasi harga sewa dan jual di masa depan. Oleh karena itu, tanah di wilayah perkotaan semakin lama semakin memiliki nilai yang tinggi (mahal) karena permainan pengembang dan spekulan finansial tersebut, padahal di sisi lain sifat dan bentuknya selalu tetap. Proses pengejaran nilai yang tinggi dan spekulasi tersebut, menyebabkan banyak penduduk yang digusur untuk memaksimalkan penggunaan tanah sehingga membawa proses marjinalisasi masyarakat. Juga, kemudian menciptakan ketimpangan di kota yang semakin besar.

Dengan adanya deregulasi sistem finansial, pembiayaan perumahan berbasis pasar semakin meningkat. Data dari World Development Report 2009 menunjukan bahwa pasar hipotek perumahan sejak paruh akhir periode 1980-an, semakin meningkat hingga sama dengan lebih dari 40 persen Gross Domestic Product (GDP) pada negara maju, dan sekitar 10 persen GDP pada negara berkembang.[8] Tumbuhnya properti tanpa kendali itu akhirnya tak dapat diserap pasar karena harga yang semakin tinggi. Karena itu, sistem kredit digunakan agar pasar dapat menyerap kembali surplus produksi itu. Kemudahan kredit rumah dengan jaminan ini membuatnya menjadi bahan spekulasi, yang kemudian berlangsung dengan tak terkendali. Apalagi dalam pasar keuangan, ada mekanisme ‘derivatif’ di mana resiko kredit bisa diasuransikan, lalu direasuransi, dan seterusnya. Melalui surat hutang terkolateralisasi (Collateralized Debt Obligation-CDO), bank kreditor dapat ‘menjual’ resikonya pada bank lain, kemudian CDO ini dikolateralisasi lagi sampai CDO tingkat ketiga. CDO ini masih bisa diasuransikan lagi dengan mekanisme yang disebut jaminan kredit jatuh tempo (Credit Default Swap–CDS). Dengan CDS, surat hutang dijaminkan ke bank lain tanpa sepengetahuan si penghutang. Nilai transaksi CDS di AS tahun 2008 mencapai USD 42,6 triliun, setara dengan nilai kekayaan seluruh rumah tangga di seantero Amerika Serikat.[9] Permainan lempar-lemparan resiko inilah yang membuat pasar menjadi rentan, dan yang jelas, tidak ada satu pelaku pasar pun yang sanggup menanggung resiko ketika pasar terguncang. Dengan begitu, booming pasar perumahan ini selalu jatuh dan menyebabkan krisis secara sistemik. Hal itu terjadi secara berulang pada tahun 1923, 1973, 1987, dan 2000. Booming pasar properti yang saling terkait dengan arus spekulatif keuangan, memiliki konsekuensi serius pada makroekonomi secara umum, serta efek eksternalitasnya pada penipisan sumber daya dan degradasi lingkungan. Pengalaman Amerika pada krisis tahun 2008 merupakan contoh sangat mudah untuk menunjukkan bagaimana fenomena perkotaan bisa menjadi akar krisis secara sistemik.

Perkembangan pasar properti, disertai sistem kredit dan finansialisasi ini, dalam perkembangann perkotaan kemudian membawa konsekuensi krisis dalam kapitalisme. Sehingga pembangunan kota yang sebelumnya menjadi penangkal krisis secara sementara, justru membawa krisis baru. Itu berhubungan dengan sifat spatio-temporal fix yang akan menghasilkan krisis kembali dalam periode yang akan datang. Dengan demikian, krisis selalu imanen dalam kapitalisme.

Hak Atas Kota dan Perjuangan Kelas

Dengan melihat penjelasan Harvey tentang kelit kelindan kota dan kapitalisme seperti di atas, maka dapat dilihat bahwa perkembangan kota selalu berada di bawah logika kapital. Dengan itu pula, restrukturisasi perkotaan selalu melewati fase ‘creative destruction’. Fase ini berada di dalam sirkulasi kapital, yang merupakan artikulasi kebutuhan kapitalis untuk menjamin agar proses akumulasi kapital dapat terus berlanjut dengan cara terus-menerus menciptakan inovasi. Maka dari itu, kapitalis akan selalu mencoba segala kemungkinan untuk mendapatkan profit dengan menciptakan produk-produk baru, berikut dengan penciptaan kebutuhan dan keinginan baru masyarakat, misal melalui iklan. Selain itu, pembukaan ruang (spatial) baru menjadi sebuah  keharusan bagi kapitalis untuk mendapatkan pasar baru, bahan mentah, tenaga kerja yang fresh, dan situs yang lebih menguntungkan untuk operasi produksi.[10] Pada masa inilah peminggiran orang miskin, dan mereka yang terpinggirkan dari kekuasaan politik terjadi. Dengan itu, mereka menjadi kelompok yang paling pertama menderita dari proses tersebut. Peminggiran biasanya dilakukan melalui proses perampasan lahan yang dimiliki atau ditempati mereka. Inilah yang dinamakan dengan ‘akumulasi melalui  penjarahan’ (Accumulation by Dispossesion).[11]

Akumulasi melalui penjarahan ini berjalan tidak hanya dalam bentuk perampasan fisik secara langsung saja, melainkan juga dalam skema yang predatoris, misalnya, seseorang bisa kehilangan tempat tinggalnya karena kredit yang tak terbayarkan. Hal itu yang menurut Harvey menjadi inti dari urbanisasi di bawah kapitalisme. Akumulasi melalui perampasan adalah cermin dari penyerapan modal melalui pembangunan kota, yang kemudian menimbulkan berbagai konflik atas perampasan tanah dari penduduk berpenghasilan rendah yang telah tinggal di sana selama bertahun-tahun. Hal demikian yang kemudian menjadi sebab dari timbulnya pemberontakan di kota-kota, yang terjadi hampir di seluruh dunia.

Konsep hak atas kota sendiri merupakan konsep hak yang dikembangkan Harvey untuk menjadi pelampauan atas fenomena peminggiran masyarakat dari kotanya karena perkembangan kapitalisme. Konsep tersebut sebenarnya berasal dari filsuf-cum sosiolog Henry Lefebvre, yang juga menggunakan terminologi hak atas kota. Namun demikian, Harvey menggunakan dalam kerangka untuk merebut kontrol kota sebagai bagian dari perjuangan kelas yang revolusioner.

right to the citysumber gambar

Hak atas kota didasari dari hak untuk merebut the commons dalam kehidupan kota. Menurutnya, pola pembangunan kota seperti sekarang berakar dari kepemilikan privat yang menyebabkan terjadinya proses peminggiran pada kelas yang tidak memiliki alat produksi. Karena itu, hak untuk merebut kota sebagai the commons pada dasarnya menuntut untuk ikut memiliki bagian dari hasil yang telah diproduksi. Dengan begitu, perjuangan hak atas kota adalah bagian dari melawan kekuatan modal yang kejam. Oleh karena itu, Harvey beragumen bahwa perkembangan kota selalu merupakan fenomena kelas sosial, karena surplus diambil dari suatu tempat dan dari seseorang, sedangkan kontrol atas itu biasanya terkonsentrasi pada beberapa gelintir orang.

Bagi Harvey, jawaban yang paling menjelaskan atas apa yang dilakukan para ‘pemberontak’ di kota adalah kontrol demokratis yang lebih besar atas produksi dan pemanfaatan surplus kapital. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa proses perkotaan merupakan saluran utama dari penggunaan surplus produksi, maka membangun manajemen demokratis atas distribusi surplus produksi di perkotaan merupakan hak atas kota. Dengan demikian, inti argumen dari hak atas kota adalah hak untuk menuntut kepemilikan kolektif atas alat produksi di kota, sehingga hasil produksi itu dapat dinikmati secara kolektif pula.

Hak atas kota itu mensyaratkan adanya demokratisasi dan pembangunan sebuah gerakan sosial yang luas untuk mengambil kendali yang selama ini “mereka” miliki, yang  telah begitu lama lepas, dan melembagakan model baru atas kehidupan kota. Hak ini juga memberi perspektif baru bahwa pengambil kebijakan tertinggi atas perubahan kota adalah warga kota itu sendiri, yang dengan aktif berpartisipasi secara kolektif. Titik tolak dari hak atas kota, adalah partisipasi rakyat dalam pembangunan kotanya.

Dengan demikian, ia merupakan sebuah perspektif politik baru untuk melawan sebuah proses pembangunan perkotaan ala neoliberalisme, seperti privatisasi ruang perkotaan, komersialisasi penggunaan kota, dominasi kawasan-kawasan industri dan perdagangan yang tidak pernah melibatkan proses demokratis dari stake holder kota itu sendiri.[12] Itulah yang disebut sebagai, ‘hak untuk mengubah dan mengatur ulang kota sesuai dengan kebutuhan kita’.[13] Secara prinsip, itu adalah salah satu hak yang paling berharga, namun paling diabaikan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) dalam konteks pembangunan kota saat ini.

Sekian.

*Penulis adalah alumnus Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Ketua umum SEMAR UI tahun 2015-2016, dan Sekjen SEMAR UI 2014-2015. Penulis dapat dihubungi melalui email dickydwiananta@gmail.com

Post Script: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan dalam Majalah ASASI, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) edisi Maret 2016. Tulisan asli dalam Majalah ASASI ELSAM dapat diunduh di sini Majalah ASASI ELSAM edisi Maret 2016

[1] Aldo Fellix Januardy dan Nadya Demadevina, Atas Nama Pembangunan: Laporan Penggusuran Paksa di Wilayah DKI Jakarta Tahun 2015, Jakarta: LBHJ, 2016.  hlm.  24-25; 38. Laporan dapat diunduh di http://www.bantuanhukum.or.id/web/wp-content/uploads/2016/02/Laporan-Penggusuran-2015_LBHJ_web.pdf?2f3e41 diakses pada 03 Maret 2016 pukul 11.52 WIB.

[2] Ibid. hlm. 16

[3] Fathimah Fildzah Izzati, “Pembangunan dan Perebutan Ruang Kota” diunduh dari http://indoprogress.com/2013/06/pembangunan-dan-perebutan-ruang-kota/ diakses pada 2 Maret 2014 pukul 18.30 WIB.

[4] David Harvey, Rebel Cities:From Right to the City to Urban Revolution, London and New York: Verso, 2012, hlm. 5

[5] David Harvey, “Imperialisme Baru, terj.”  (Yogyakarta: Resist Book, 2012), hlm. 121

[6] David Harvey, Imperialisme Baru, op.cit. hlm. 98

[7] Ibid. hlm. 121

[8] David Harvey,  Rebel Cities, op.cit. hlm. 29

[9]Anwar Ma’ruf, “Anwar Ma’ruf: Kapitalisme adalah Sistem yang Kontradiktif dan Selalu Sakit”, diunduh dari  http://indoprogress.blogspot.com/2010/02/anwar-maruf-kapitalisme-adalah-sistem.html diakses pada 3 Maret 2014 pukul 12.00 WIB

[10] David Harvey, “The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of Cultural Change”, (Cambridge and Oxford: Blackwell Publishers, 1989), p. 106.

[11] David Harvey, Rebel Cities, op.cit. hlm. 34

[12] Coen Husain Pontoh, “Hak Atas Kota”, diunduh dari http://indoprogress.com/hak-atas-kota-2/ diakses pada 20 Oktober 2013 pukul 11.10 WIB

[13] David Harvey, rebel Cities, op.cit, hlm. 4

Tinggalkan komentar